Otorita IKN Ironi Otonomi Khusus Tuntutan Daerah

DI TENGAH isu Ibu Kota Baru (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim), Presiden Jokowi menandatangani Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dua Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Nomor 2 tahun 2021 juga telah dirampungkan.
Peraturan perundang-undangan tentang perubahan otonomi khusus (Otsus) Papua dikeluarkan pemerintah untuk merespon aspirasi masyarakat Papua selama ini. Selain itu, sebagai bukti pemerintah menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP), baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.
Misalnya, pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara pengisian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) yang diangkat dari unsur OAP. Kemudian, Kebijakan pengangkatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus mengutamakan OAP dengan kuota khusus 60 hingga 80 persen.
Kebijakan tersebut tercermin dalam pengangkatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus mengutamakan OAP dengan kuota khusus 60 hingga 80 persen. Selain itu, Pemerintah juga membuka kesempatan seluas-luasnya kepada OAP untuk bekerja dan membina karier di instansi pemerintah pusat sesuai kompetensi dan keahliannya.
Keistimewaan yang diberikan negara kepada Papua tersebut, seolah menggelitik glorifikasi kita atas IKN di Kalimantan Timur. Kebijakan yang ironi dengan apa yang terjadi pada bangsa Dayak di Kalimantan.
Di saat Papua menerima kewenangan yang lebih luas sebagai wilayah otonom, sebaliknya wilayah dan kewenangan Kalimantan diambil dengan dalih otoritas IKN. Dua realitas yang bertolak belakang, antara desentralisasi yang mencerminkan demokratisasi, dengan sentralistik yang anti demokrasi.
Kita harusnya sadar bahwa Otorita IKN itu sebuah ironi dan kontradiksi dengan demokratisasi dan otonomi daerah. Di saat daerah dan masyarakat menuntut daerah otonomi, otonomi khusus dan otonomi diperluas, kita malah menerima hadirnya pemerintah daerah sebagai otoritas pemerintah pusat.
Harusnya bangsa Dayak dilibatkan dalam merencanakan, memutuskan dan melaksanakan model pemerintahan yang akan dibentuk, sehingga dampak positif yang kita inginkan dapat kita persiapkan dan memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat kita. Ada identitas budaya yang kita tonjolkan dari kepemimpinan daerah.
Namun realitas yang terjadi jauh panggang dari api, pemerintah masih abai atas keberadaan perjuangan dan kontribusi bangsa Dayak.
Generasi muda Dayak mulai sadar akan perlakuan semena-mena pemerintah terhadap bangsa Dayak selama ini.
Jika ukurannya pengorbanan, bangsa Dayak lah yang paling banyak berkorban selama ini. Berapa juta hutan yang digunduli untuk transmigrasi, tambang, kebun dan lain sebagainya. Berapa Juta dolar devisa negara yang dihasilkan dari SDA tanah Borneo. Berapa juta hektar lahan yang rusak akibat semua kebijakan pemerintah itu. Belum lagi penderitaan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang dialami bertahun-tahun bangsa Dayak. Sampai-sampai karena sikap mengalah atas negara, saudara-saudara sebangsa mereka berpisah dan terpecah 3 (negara) di atas tanah kelahiran mereka sendiri.
Pertanyaannya, mengapa perlakuan negara tidak adil terhadap bangsa Dayak selama ini? Salah satunya alasan, bisa jadi disebabkan kita memang tidak pernah serius atau terlihat sungguh menuntut hak kita.
Di sisi lain, negara memang terlalu nyaman dengan keramahan kita, di samping elit kita terlalu asyik dengan privilege politik dan ekonomi yang diberikan negara kepada mereka.
Baca Juga : Perjanjian Damai Dayak Dusun di Pinangah
Dalam pandangan negara, sebagian kalimantan adalah bagian dari NKRI. Semua warga yang tinggal di dalamnya harus tunduk pada pemerintah. Warga Dayak tidak lagi dilihat sebagai penduduk asli pemilik kalimantan. Setiap warga pendatang yang tinggal di Kalimantan, kedudukannya sama dengan warga Dayak. Setiap jengkal tanah yang ada, berhak dikuasai negara dan warga negara lain
Generasi muda harus belajar dari Papua dan Aceh. Keistimewaan yang mereka dapatkan tidak diperoleh secara gratis. Ada perjuangan dan perlawanan yang mereka lakukan agar didengar oleh negara. Ada tuntutan dan tindakan yang mereka sampaikan atas persoalan ketidak adilan yang mereka terima. Ada sikap politik yang kuat untuk memaksa negara memperhatikan tuntutan mereka.
Maka itu, generasi muda Dayak hari ini harus kritis, mandiri dan berani bersikap revolusioner atas hak dan keberlangsungan hidup generasi mereka yang mandiri, sejahtera dan bermartabat. Generasi muda harus membangun dialog untuk membangun realitas identitas politik majemuk antara mereka. Biarkan mereka bertindak atas tantangan dan persoalan mereka hari, melepas diri dari alama pikiran masa lalu. Memang, realitas yang terjadi hari ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu para pendahulu kita, tetapi apa pun sejarah dan cerita masa lalu pendahulu kita, itu semua bagian dari kearifan mereka untuk mempertahankan generasi hari ini. Tinggal generasi sekarang membaca persoalan dan permasalahan kekinian, dan bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.(*)
Redaksi Tuyang Issue